[ad_1]
Sepuluh tahun lalu saya begitu akrab dengan pusat perbelanjaan, tempat yang punya banyak sekali julukan, mulai dari shopping mall, shopping town square, plaza, city, village, hingga trade center. Semuanya untuk menarik perhatian masyarakat berkunjung.
Pada 2008-2011, saya juga pernah bekerja di satu gedung di kawasan Semanggi yang di dalamnya ada pusat perbelanjaan. Setiap hari melewati keramaian dan gemerlap warga ibu kota berburu barang.
Demikian akrabnya, hingga saya kenali tiap lantai dan sudutnya. Ia saya jadikan tempat bersosialisasi dengan teman-teman di akhir pekan, berbelanja kebutuhan sandang dan kebutuhan pekerjaan, menonton di bioskop, atau meliput event-event momen tertentu. Tak luput, “mengadem” di dalamnya saat bulan Ramadan tiba.
Namun, apa boleh dikata, kini keramaiannya semakin memudar.
Misalnya saja Blok M Mall yang merosot pengunjungnya dan ditinggalkan tenant-tenant satu persatu. Padahal, mall yang berjaya di era 1990-2000-an ini merupakan rujukan anak muda pada eranya, jauh sebelum membanjirnya pusat perbelanjaan lain di Jakarta.
Memasuki 2007, mall ini mulai beranjak senyap. Satu persatu pamit, dan tahun berganti tahun semakin sepi. Pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari, terkadang hanya melintas untuk menuju ke terminal Blok M.
Sunyi.
Fenomena ini berlanjut, Ratu Plaza yang awalnya pusat perbelanjaan dengan aneka ragam perlengkapan umum, dan kemudian berganti citra jadi “surga” perlengkapan elektronik, ikut terseret kesepian.
Suasana pusat perbelanjaan itu terlihat hening. Hampir semua toko tutup dengan beberapa rolling door ditempeli secarik kertas bertuliskan: dijual, disewakan, pindah ke tempat lain, dan sebagainya.
Badai kesepian ini mulai menjalar ke gedung-gedung lainnya di Jakarta.
Pandemi Covid-19 menjadi hantaman terbesar bagi pusat perbelanjaan dua-tiga tahun lalu. Pembatasan pengunjung dan jam operasional, serta daya beli menurun menjadi salah satu faktor yang mendorong kian sepi.
Ketika pandemi reda, kini pusat perbelanjaan pun berhadapan dengan perubahan pola masyarakat berbelanja, dari yang tadi semula belanja offline kini beralih ke online — pasar maya yang acap kali menawarkan berbagai kemudahan, dan harga miring.
Penyebab selanjutnya, kemungkinan masyarakat menahan uang untuk berbelanja karena harga barang perlahan naik, atau baru benar-benar membelanjakan uang sesuai kebutuhan.
Selebihnya, mal-mal harus bergantung pada keramaian akhir pekan, atau gemerlap cahaya dan dekorasi menawan.
Mereka yang gagap menghadapi perubahan ataupun tren pergantian zaman harus bersiap mati. Mereka yang sanggup harus beradaptasi dan bertahan menggelar dagangan meski dicengkram lonceng kematian.