[ad_1]
Jakarta, SUARATTS.COM —
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) melampirkan buku Jimly Asshiddiqie yang berjudul ‘Oligarki dan Totalitarianisme Baru’ sebagai penguat dalam laporannya terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
Hal itu terungkap dalam sidang pemeriksaan pelaporan dugaan pelanggaran kode etik yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Kamis (2/11). Sidang tersebut dipimpin langsung oleh Jimly yang juga merupakan Ketua MKMK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebagai bukti tambahan, kami merujuk juga pada buku yg ditulis oleh yang mulia Ketua MKMK hari ini Prof Jimly Asshiddiqie dengan merujuk pada buku berjudul Oligarki dan Totalitarianisme Baru yang diterbitkan oleh LP3ES,” kata Ketua PBHI Julius Ibrani.
Julius menjelaskan dalam buku tersebut disampaikan terkait bagaimana konflik kepentingan dan kaitannya antara kenegarawanan dengan pejabat negara.
“Bagaimana mempengaruhi tugas dan tanggung jawab pejabat negara, termasuk dalam konteks kekuasaan politik pemerintahan baik itu eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif,” ucapnya.
Dalam konteks permasalahan MK saat ini, Julius menyinggung dugaan konflik kepentingan Anwar Usaman dalam memutus perkara Nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres-cawapres.
Putusan itu menambah ketentuan capres-cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Putusan itu dianggap memuluskan jalan anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres bersama Prabowo Subianto. Pasalnya, Usman merupakan ipar Jokowi dan paman Gibran.
“Terlapor 1 Prof. Anwar Usman kami nyatakan dengan tegas bahwa satu Indonesia bahwa yang mulia Anwar Usman sebagai ketua MK dan hakim konstitusi yang memeriksa perkara itu memiliki konflik kepentingan karena merupakan adik ipar presiden Joko Widodo,” tuturnya.
Selain Anwar Usman, buku Jimly juga menjadi rujukan PBHI dalam menguatkan dugaan pelanggaran kode etik empat hakim konstitusi lainnya. Keempat hakim itu yakni Manahan MP S, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P, dan M. Guntur Hamzah.
Menurut Julius, keempat hakim itu sepatutnya mengetahui dan tidak membiarkan adanya perbedaan sikap Anwar Usman dalam memeriksa perkara soal batas usia capres-cawapres.
Pada gelombang pertama, Anwar Usman tak hadir disebut karena alasan menghindari konflik kepentingan..namun, pada perkara nomor 90, Anwar hadir. Anwar juga meralat alasannya tak hadir pada sidang sebelumnya.
“Ketika terlapor I hadir dan memeriksa dalam perkara 90 dan kemudian meralat alasan dasar untuk ikut memeriksa atau tidak ikut memeriksa perkara di gelombang pertama karena sakit,” ujarnya.
“Sikap ini harusnya direspons oleh empat hakim terlapor sebagai suatu sikap yang konsisten dan patut dicurigai memiliki kepentingan tertentu,” imbuhnya.
MK menjadi sorotan usai mengeluarkan putusan terkait syarat batas usia capres-cawapres. MK menambah ketentuan capres-cawapres boleh di bawah umur 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Keputusan itu menuai banyak sorotan lantaran dianggap untuk mempermudah anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang belum berusia 40 tahun melenggang ke Pilpres di 2024 mendatang. Usai putusan itu keluar, kini Gibran resmi menjadi cawapres dari Prabowo Subianto dan telah mendaftar ke KPU.
(yla/pmg)
[Gambas:Video CNN]